Jumat (7/5) SOREC menyelenggarakan diskusi bulanan dengan isu “Ekofeminis di Tanah Air”. Kegiatan ini merupakan diskusi bulanan SOREC dalam rangka memeriahkan semangat hari Kartini dan hari bumi. Dalam diskusi kali ini SOREC menghadirkan dua pembicara dari kalangan akademisi dan aktivis. Pembicara pertama adalah Mama Aleta Baun, seorang aktivis perempuan dan lingkungan yang banyak memberikan advokasi mengenai pentingnya menjaga ekologi di Molo dari ancaman degradasi lingkungan akibat industrialisasi. Kemudian, pembicara kedua adalah Dr. Desintha Dwi Asriani, seorang dosen Departemen Sosiologi sekaligus peneliti di SOREC yang mendalami kajian-kajian mengenai perempuan.
Pada sesi diskusi sore itu, Mama Aleta Baun menyampaikan pentingnya menjaga lingkungan, karena perempuan dan lingkungan memiliki keterikatan yang sangat kuat. Perempuan Molo khususnya, sudah terbiasa menggantungkan hidupnya terhadap hutan. Jadi, jika lingkungan rusak maka ekosistem yang ada di hutan juga akan terganggu. Dampaknya, perempuan-perempuan Molo akan kesusahan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Mama Aleta memiliki analogi yang unik untuk memberikan advokasi kepada masyarakat adat di Molo. Ia menganalogikan lingkungan layaknya organ tubuh manusia, karena ketika lingkungan rusak sama artinya merusak tubuh. Dalam hal ini, Mama Aleta juga menyampaikan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama menghadapi resiko ketika terjadi degradasi lingkungan, tetapi dampak resiko yang dihadapi perempuan dan laki-laki terdapat perbedaan dimana dampak tersebut lebih dirasakan oleh perempuan.
Menyambung beberapa hal yang sudah disampaikan oleh Mama Aleta, Dr. Desintha menjelaskan bahwa gerakan ekofeminisme sebenarnya sudah terjadi sejak lama di berbagai negara. Namun, yang perlu ditekankan dalam konsep ekofeminisme adalah meskipun ekofeminisme lahir dari pengalaman perempuan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa mereka yang bukan perempuan tidak bisa menyuarakan ketidakadilan. Bahkan, jika melihat konteks gerakan ekofeminis yang terjadi di beberapa daerah Indonesia, seperti Molo, Kendeng, dan lainnya maka kita dapat menyaksikan keterlibatan kaum laki-laki di dalamnya.
Sebelum diskusi diakhiri, ada tanggapan menarik yang disampaikan oleh Dr. Arie Sujito selaku ketua SOREC. Ia mempertanyakan kembali kepada Mama Aleta, mengenai seberapa besar kerentanan perempuan sebagai subjek dalam memberikan pemaknaan lingkungan pada isu ruang publik?
Dalam konteks perempuan adat Molo, perempuan memiliki hubungan yang lebih kuat dengan alam, mereka menggunakan alam sebagai bentuk eksistensi mereka, mulai dari memberi makan keluarga, melakukan kegiatan tenun, meramu obat-obatan, dan lain-lainnya. Jika alam mengalami kerusakan, maka disitulah tantangannya, kerentanan-kerentanan perempuan akan mulai terlihat. Dalam konteks ruang publik, hal ini bisa dirasakan ketika ada upacara kematian, jika perempuan yang meninggal maka suasananya pasti akan berbeda dibandingkan dengan laki-laki.