Hasto Atmojo Suroyo merupakan alumni Sosiologi UGM tahun 1983 yang telah banyak berkiprah dalam bidang isu sosial politik, kajian hukum, advokasi dan perjuangan hak masyarakat terpinggirkan serta pendampingan hukum bagi masyarakat. Sebagai alumni Sosiologi UGM, Hasto menggeluti bidang tersebut sejak menjadi mahasiswa dengan memulai berkontribusi di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) hingga saat ini terpilih menjadi Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode tahun 2019-2024.
Dalam kesempatan wawancara oleh Tim Media Departemen Sosiologi UGM pada Jumat (11/11), ia membagikan pengalamannya saat menjadi mahasiswa, pemikirannya mengenai Ilmu Sosiologi, hingga pada aspirasinya sebagai Alumni Sosiologi UGM kepada mahasiswa/i Sosiologi saat ini.
Flashback ke masa lalu, mengapa Anda memilih Sosiologi UGM dan apa pengalaman yang paling berkesan selama menjadi mahasiswa sosiologi?
Sejak SMA, saya memang tertarik dengan masalah kebudayaan, politik, dan kehidupan sosial. Berangkat dari dunia pengalaman dan pergaulan dengan berbagai kalangan sewaktu SMA, saya mendapatkan banyak literasi terutama dari komunikasi saya dengan komunitas yang bernama Bengkel Teater WS Rendra di Jogja. Disana saya mendapat banyak pengetahuan, bukan hanya tentang teater, tetapi juga ada kuliah dan literasi. Seperti misalnya mengenai ilmu Sosiologi Kritis atau Critical Sociology, yakni ada Antonio Gramsci dan Livaneli dari Eropa, serta Paulo Freire dari Amerika Latin. Adapun di Amerika Latin, lahir sebuah gerakan yang dimulai di gereja yang disebut sebagai Teologi Pembebasan, yakni penafsiran kembali ajaran-ajaran agama secara kontekstual dengan kehidupan masyarakat. Pendekatan-pendekatan Sosiologi itu kemudian menarik perhatian saya sehingga pada tahun 1978, saya memilih Sosiologi UGM.
Pemilihan Sosiologi sebagai bidang ilmu dilandasi oleh banyak pilihan pula. Mulai dari keinginan masuk ke Fakultas Hukum, tetapi kemudian saya melihat kalau di Fakultas Hukum orang cenderung menjadi positivistik, yang selalu berbicara benar dan salah. Selanjutnya, berpikir pula untuk masuk ke Fakultas Psikologi, tetapi merasa pendekatannya terlalu individualistik. Pilihan Sosiologi pada akhirnya menjadi pilihan yang tepat bagi saya. Secara kritis, ilmu Sosiologi melalui kerangka kontekstualnya sangat bermanfaat bagi masyarakat. Walaupun saat saya di Sosiologi UGM dulu lebih banyak mempelajari pendekatan Sosiologi dalam pemikiran August Comte dan Parson, serta yang lebih kritis seperti Andre Gunder Frank. Namun pemikiran-pemikiran Sosiolog seperti Gramsci, Paulo Freire, Livaneli, tidak masuk dalam wacana di Sosiologi UGM pada waktu itu.
Selain itu, angkatan saya sering disebut sebagai angkatan yang anomali karena berkaitan dengan situasi sosial politik tahun 1978. Kehidupan organisasi mahasiswa pada saat itu tidak diperbolehkan sehingga aktivitas mahasiswa kebanyakan berada di luar kampus, termasuk saya. Artinya, ini membuat saya lebih banyak aktif di luar kampus untuk kegiatan yang bersifat non-kuliah. Bersama dengan ketertarikan dan situasi sosial tahun ’78 kemudian bersama dengan teman-teman fakultas, mendirikan organisasi yang bernama Kelompok Studi dan Bantuan Hukum (KSBH). Keaktifan sebagai mahasiswa tercermin dalam aktivitas-aktivitas di dalam komunitas ini.
Tertarik dalam dunia aktivis dengan mendirikan KSBH, apa yang melatarbelakangi dan terpikirkan oleh Anda pada saat itu?
Secara global, pendekatan struktural terhadap berbagai permasalahan sosial muncul sebagai paradigma baru. Dunia bantuan hukum itu pula lahir dari pendekatan bantuan hukum struktural. Bantuan hukum struktural adalah bantuan hukum yang diberikan pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Tidak hanya dipahami bagi orang yang miskin saja tetapi juga bagi orang yang dimiskinkan atau terpinggirkan oleh suatu struktur sosial. Jadi, bantuan hukumnya lebih kepada dasar itu. Memang di tingkat nasional, gagasan ini lahir dari Lembaga Bantuan Hukum yang didirikan oleh Pak Adnan Buyung Nasution dan kami terimbas pada gagasan itu. Kami kemudian membentuk KSBH sebagai kendaraan praktis untuk berbuat sesuatu bagi kelompok masyarakat tersebut. Dimulai dari pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma yakni pada kasus-kasus masyarakat kecil yang berhadapan dengan hukum. Dilain hal, kami juga melakukan konsientisasi, sebuah istilah yang kami adopsi dari Amerika Latin, yakni aktivitas penyadaran kepada masyarakat. Konsientisasi sebagai gerakan ini misalnya melalui penyadaran bahwa kemiskinan mereka bukanlah nasib, tetapi imbas dari ketimpangan struktur sosial.
Saya aktif dalam komunitas tersebut dan banyak menangani kasus-kasus yang sifatnya struktural dan masif. Kami terlibat dalam advokasi kasus-kasus seperti pembebasan tanah untuk membangun Candi Wisata Borobudur dan Prambanan sampai pada kasus pembangunan Waduk di Boyolali dan Wonogiri pada saat itu. Kami akhirnya menawarkan masukan untuk melibatkan masyarakat setempat sebagai bagian dari proyek untuk membangun tourism society. Selain itu, kasus Operasi Penembakan Misterius (PETRUS) sebagai salah satu kasus yang masih saya kenang karena intimidasi dan teror dilakukan dalam bentuk meletakkan mayat di depan rumah tokoh masyarakat. Kami harus bersembunyi untuk melakukan kegiatan advokasi. Inilah memang gambaran situasi politik pada zaman itu.
Berdasar pengalaman tersebut, bagaimana perjalanan karir, pengalaman dan kemanfaatan ilmu Sosiologi terhadap bidang kerja Anda?
Sejak saya aktif di KSBH dan lulus tahun ‘83, saya akhirnya mengambil bagian dalam Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta. Saya mendapatkan banyak sekali pengalaman disini. Adapun bekal ilmu Sosiologi memberikan saya perspektif lain terhadap kehidupan, termasuk persoalan hukum. Kalau kita hanya berbicara soal hukum saja itu akan “kaku” dan “kering” karena bertolak pada unsur benar dan salah. Perspektif Sosiologi kemudian menjadi sangat penting untuk dimiliki, bahkan oleh seorang praktisi maupun yuris atau teoritisi hukum sekalipun. Perspektif ini lebih lentur dan luas, serta tidak hanya berbicara benar dan salah, tetapi juga bagaimana seharusnya seseorang itu bisa berinteraksi dengan lebih genuine dengan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam lingkup kemasyarakatan.
Bekal ilmu Sosiologi selanjutnya menjadi basis dalam pemilihan Kriminologi dalam studi Magister. Kriminologi merupakan ilmu dengan pendekatan sosiologis terhadap faktor-faktor kriminalitas. Jadi saya pikir, itu yang bisa mengawinkan antara perspektif Sosiologi yang sudah saya miliki sebelumnya dengan kerangka praktik saya ketika aktif di KSBH dan banyak menangani kasus di LBH. Hampir seluruh hidup saya banyak bergelut di KLBH kemudian kerja di YLBHI. Sejak aktif di LBH, saya juga mengajar di salah satu universitas swasta di Jakarta. Berkarir di Komnas HAM sejak tahun 2002 dan beberapa tahun kemudian terpilih menjadi Komisioner Komnas HAM selama lima tahun setelah era reformasi. Itu adalah komisioner periode pertama yang menggunakan undang-undang. Adapun tahun 2013 kembali aktif dalam dunia yang kurang lebih sama yakni Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hingga saat ini.
Sumber gambar: dok. pribadi narasumber
Apa dan bagaimana hardskill dan softskill yang sangat penting dan berpengaruh dalam perjalanan karir sebagai alumni sosiologi, serta apa yang menjadi pesan Anda bagi mahasiswa/i sosiologi yang masih menempuh studi saat ini?
Memerdekakan pikiran adalah modal penting dan utama bagi kita bahkan ketika akan memasuki dunia kerja. Ini mendukung orang bisa menjadi dirinya sendiri dan mampu menuangkan pikiran serta kehendaknya. Tidaklah mungkin hanya berharap pada pengetahuan di dalam kampus saja, kemudian bisa melakukan banyak hal di luar. Memerdekakan pikiran sebagai suatu terobosan yang baik bagi mahasiswa untuk berpikiran terbuka dan berpikir merdeka. Pengetahuan teoritik dan ijazah itu ibarat formalitas belaka. Jadi, yang paling penting bagaimana kita bisa melakukan sesuatu, memikirkan sesuatu, dan menghasilkan sesuatu yang lebih besar bukan hanya untuk diri kita tetapi juga untuk lingkungan kita. Kalau itu lingkungan kerja, maka kita harus berkontribusi pada pikiran-pikiran kritis untuk membesarkan lingkungan kerja tersebut.
Atas dasar ini, ilmu bukan hanya berhenti sebagai ilmu pengetahuan, tetapi harus kontekstual dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Sosiologi memiliki potensi yang sangat besar untuk mewujudkan cita-cita itu. Jadi, pesan saya bagi mahasiswa sosiologi, jangan hanya belajar di kampus saja, tetapi juga membuka pergaulan, wawasan, komunikasi dengan berbagai pihak untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak, baik itu pengetahuan empiris maupun teoritis. Teoritik sebagian besar bisa didapatkan di kampus, tetapi di kampus juga teoritisnya terbatas, karena ada banyak pengetahuan teoritis lain yang bisa diambil di luar. Untuk para mahasiswa, jangan terlalu fokus pada teoretis kampus, melainkan perlu memanfaatkan kesempatan untuk lebih mengeksplorasi banyak hal selama berstatus sebagai mahasiswa.
Penulis: Kartika Situmorang
Hasto Atmojo Suroyo merupakan alumni Sosiologi UGM tahun 1983 yang telah banyak berkiprah dalam bidang isu sosial politik, kajian hukum, advokasi dan perjuangan hak masyarakat terpinggirkan serta pendampingan hukum bagi masyarakat. Sebagai alumni Sosiologi UGM, Hasto menggeluti bidang tersebut sejak menjadi mahasiswa dengan memulai berkontribusi di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) hingga saat ini terpilih menjadi Pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode tahun 2019-2024.