Jason Iskandar merupakan alumni Sosiologi UGM tahun 2014 yang telah berkarya dan membangun karir di dunia seni dan perfilman. Dalam perjalanan karirnya, ia telah banyak membuat film pendek, mendirikan rumah produksi yang dinamakan Studio Antelope, hingga menjadi sutradara dalam film panjang perdananya yang berjudul “Akhirat: A Love Story” tahun 2021. Sebagai alumni Sosiologi UGM, Jason menggeluti bidang tersebut sejak berada di bangku sekolah menengah atas hingga saat ini.
Dalam kesempatan wawancara oleh Tim Media Departemen Sosiologi UGM pada Selasa (13/12), ia membagikan pengalamannya saat menjadi mahasiswa, memulai karir dalam dunia seni dan perfilman, hingga pada kesan pesannya sebagai alumni Sosiologi UGM.
Selama menjadi mahasiswa Sosiologi UGM, apa pengalaman apa yang didapatkan dan paling berkesan baik itu kegiatan di dalam maupun luar kampus?
Diversitas menjadi hal yang pertama kali saya rasakan, tidak hanya mengenai etnisitas tetapi juga agama dan berbagai latar belakang lainnya. Sejak sekolah dasar hinggasekolah menengah atas, saya berada dalam lingkup orang-orang Chinese Indonesian. Sehingga secara keseluruhan, bukan hanya di Sosiologi FISIPOL tetapi di kampus UGM juga, banyak sekali pengalaman yang didapatkan atas keberagaman ini. Seperti misalnya, saat ospek berjalan, tugas-tugas, dan riset lapangan yang memerlukan hubungan dan kerja sama yang cukup intens. Beberapa perselisihan terjadi dalam hal menyelesaikan masalah dan mengerjakan tugas. Penyesuaian diri dengan keberagaman ini kemudian menghasilkan keterbukaan dan pengalaman menarik bagi saya.
Sewaktu kuliah dulu, saya tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, karena tidak tahu mana yang cocok dengan saya. Sehingga cukup aktif pada kegiatan di luar kampus. Seperti misalnya, mengikuti kegiatan Festival Film Dokumenter (FFD), Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), dan setiap minggu mengikuti acara pemutaran film dan pementasan musik di Jogja.
Selain itu, saya mensyukuri bahwa dosen-dosen di Sosiologi UGM juga sangat beragam pemikiran dan cakap di lain pekerjaan profesionalnya. Berangkat dari pengalaman kesenian yang telah dimiliki semenjak di sekolah, saya terus diberikan ilmu dan perspektif yang kaya dari dosen-dosen Sosiologi UGM. Salah satu yang menarik adalah ilmu sosiologi yang dihubungkan dengan kesenian dan kebudayaan.
Apa yang Anda pikirkan mengenai ilmu sosiologi setelah menjadi alumni dan terjun dalam dunia kerja saat ini?
Awalnya, sekolah film menjadi pilihan utama ketika sejak sekolah saya sudah membuat film-film pendek dan kemudian ingin berkarir sebagai sutradara film. Namun saya mempertimbangkan ilmu-ilmu lain yang akan memperkuat saya menjadi seorang filmmakers seperti ilmu sosiologi, sastra, dan filsafat. Akhirnya pilihannya jatuh ke sosiologi, dikarenakan teman-teman saya yang juga lulusan sosiologi melihat bahwa ternyata sosiologi itu ilmu yang cukup “babon” dalam mempelajari manusia dan interaksinya. Inilah yang membuat saya menilai bahwa sosiologi adalah ilmu yang diperlukan dalam pembuatan film. Film itu menurut saya sangat sosiologis, apa yang kita lihat dan saksikan di film, merupakan produk budaya dan itu sosiologis sekali.
Sehingga yang paling terasa saat masuk ke sosiologi adalah ibarat kita diberikan pisau bedah dalam melihat dan menganalisis sesuatu. Dalam pembuatan film, kita selalu memotret dan membingkai suatu topik. Pisau bedah sosiologi pada akhirnya diperlukan untuk membingkai angle dan menangkap sebuah topik di film. Sederhananya, sosiologi mengungkap yang tersembunyi, sedangkan film merekam yang tersembunyi. Keduanya saling berjalan beriringan. Sosiologi menjadi ilmu yang sangat membantu saya sebagai filmmakers.
Sumber gambar: dok. pribadi narasumber
Bagaimana awal mula karir Anda sejak lulus kuliah hingga saat ini?
Setelah lulus kuliah, saya melanjutkan apa yang sudah dikerjakan selama menjadi mahasiswa. Dimulai dari sekolah menengah atas yang sudah membuat film-film pendek yang kebanyakan berbentuk dokumenter, hingga pada saat di Jogja, saya bertemu dengan banyak komunitas film. Ada rumah produksi Fourcolours Films, 56 Films, dan beberapa figur yang namanya saat ini sudah bekerja dalam industri film. Saya cukup sering berinteraksi dengan mereka selama kuliah empat tahun di UGM.
Dari situ saya mulai membuat film-film pendek fiksi yang selama kuliah saya putar di beberapa festival film. Nama Studio Antelope kemudian saya bangun sebagai rumah produksi. Saya menggunakan nama itu di setiap film yang saya produksi. Ketika lulus, apa yang saya lakukan, sebenarnya adalah melanjutkan pekerjaan rumah produksi Studio Antelope tersebut. Salah satu yang agak berbeda adalah realita bahwa sekarang harus lebih serius dalam pengelolaanya. Studio Antelope ini menjadi perusahaan seni yang bukan hanya memproduksi film-film pendek saja, tetapi juga beberapa produk lain seperti iklan, branded films, dan web series. Sambil disaat yang sama saya juga bikin film-film pendek, dan akhirnya dapat kesempatan membuat film panjang pertama pada tahun 2020 lalu yang berjudul “Akhirat: A Love Story”.
Di era society 4.0 ini tentunya lebih banyak persiapan untuk menunjang karir. Menurut Anda, bagaimana skill yang penting dan sangat berpengaruh pada perjalanan karir? Apa yang perlu dikuasai untuk kompetisi karir di era 4.0 ini?
Empathic skill menjadi inti penting kita sebagai manusia yang tidak akan tergantikan oleh teknologi. Empati, hati nurani, dan kemampuan menganalisa sesuatu merupakan core manusia. Era sekarang ini, kita terbiasa mendengar dan menerima data-data mentah yang sebenarnya harus kita olah menjadi pengetahuan dan direalisasikan melalui sebuah tindakan. Menurut saya, itu yang sangat penting dimiliki oleh manusia untuk bisa bertahan. Apalagi buat teman-teman yang ingin bekerja di dunia seni, ataupun pengen jadi seniman, musisi, filmmakers, penulis, dan lain sebagainya. Empathic skill perlu kita pertahankan dan asah. Misalnya kemarin di kalangan ilustrator banyak pembahasan pro-kontra mengenai Artificial Intelligence (AI). Walaupun di kalangan filmmakers pembahasan ini sudah cukup lama, yaitu ketika teknologi AI saat ini bisa membuat film, apakah itu bisa kita sebut sebagai sebuah film. Sehingga menurut saya, kepekaan hati dan empati menjadi hal yang tidak akan bisa menggantikan kita sebagai seniman dalam melihat sesuatu.
Sumber gambar: dok.pribadi narasumber
Secara spesifik, aspirasi skill sosiologi seperti apa yg dibutuhkan oleh dunia pekerjaan terkhusus dalam dunia seni atau perfilman?
Ketika ditarik apapun yang saya pelajari, saya merasa kembali lagi pada hati nurani tersebut. Sewaktu belajar ilmu sosiologi, kita beberapa kali melakukan riset lapangan, yang artinya bertemu orang secara langsung. Mungkin kalau saya bisa lebih spesifik, skill yang paling dibutuhkan itu adalah mendengar. Mendengar menjadi inti dari semuanya, yakni pada kepemilikan hati nurani dan empati. Mendengar adalah skill yang terdengar sepele, cukup diremehkan, dan jarang dibahas oleh banyak orang. Namun bagi saya, sangat ideal dan berkesan jika orang-orang mau mendengar. Kalau dalam bahasa inggris, ada hear dan listen. Kebanyakan orang melakukan hear tetapi enggan untuk listen. Artinya, listen atau mendengar adalah tingkat lanjut atas mencerna sesuatu ke dalam hati nurani. Saya merasa selama ini semakin banyak orang yang enggan mendengarkan. Jadi selama empat tahun mempelajari ilmu sosiologi, saya dituntut untuk lebih mendengarkan orang lain. Bagi saya ini cukup langka dan sangat dibutuhkan bagi diri sendiri dan orang lain.
Closing statement untuk mahasiswa yang masih menempuh studi, akan memulai jenjang karir mereka saat ini, ataupun yang tertarik untuk berkarir di dunia seni dan perfilman?
Belakangan ini saya concern mengenai kesehatan mental. Dalam artian, bahwa tantangan yang paling dirasakan adalah seringkali kita membandingkan diri dengan orang lain, dan ini pasti sering dialami ketika masih duduk di bangku perkuliahan. Daya saing di dunia kampus pada akhirnya membuat kita membandingkan diri dengan orang lain. Ini yang kemudian menjadi ungkapan saya bagi teman-teman, bahwa kita harus menyadari perjalanan kita masing-masing itu berbeda. Tidaklah adil membandingkan perjalanan kalian dengan orang lain. Inti dari tujuan hidup adalah jangan membandingkan diri dengan orang lain. Pernyataan ini memang cukup umum, tetapi akan sangat bermanfaat bagi teman-teman yang akan memasuki dunia karir kedepannya.
Penulis: Kartika Situmorang
Jason Iskandar merupakan alumni Sosiologi UGM tahun 2014 yang telah berkarya dan membangun karir di dunia seni dan perfilman. Dalam perjalanan karirnya, ia telah banyak membuat film pendek, mendirikan rumah produksi yang dinamakan Studio Antelope, hingga menjadi sutradara dalam film panjang perdananya yang berjudul “Akhirat: A Love Story” tahun 2021. Sebagai alumni Sosiologi UGM, Jason menggeluti bidang tersebut sejak berada di bangku sekolah menengah atas hingga saat ini.