Departemen Sosiologi berkolaborasi bersama Social Research Center (SOREC) UGM dan IBTimes.ID dalam menyelenggarakan diskusi dan bedah buku “Jalan Baru Moderasi Beragama: Mensyukuri 66 Tahun Haedar Nashir” pada Selasa (23/4). Acara ini dilaksanakan di Ruang Auditorium Lantai 4 FISIPOL UGM dan dihadiri langsung oleh Prof. Dr. KH. Haedar Nashir, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A., Prof. Dr. Sugeng Bayu Wahyono, Dr. Muhammad Najib Azca, dan Pdt. Izak Lattu, Ph.D.
Buku yang berisi tulisan para tokoh dari berbagai elemen ini didedikasikan khusus kepada Prof. Haedar Nashir sebagai bentuk syukur atas Milad ke-66 beliau. Sosok Prof. Haedar Nashir dikenal sebagai ideolog dan “kamus hidup” Muhammadiyah sekaligus agamawan dengan karakter moderat dalam pemikiran juga tindakan.
Pada sesi diskusi dan bedah buku tersebut, Prof. Haedar Nashir menyampaikan gagasannya perihal moderasi beragama. “Sebenarnya mau moderat, mau tengahan, atau wasathiyah, itu tergantung pada esensi, pemaknaan dan konstruksinya. Semua konstruksi sah, asal terbuka untuk didialogkan. Menjadi masalah ketika monolitik dan lalu menjudge pemikiran yang berbeda menjadi salah, sesat, dan sebagainya,” ungkap Prof. Haedar Nashir.
Hal ini turut disepakati oleh Prof. Ruhaini, “Pemikiran Muhammadiyah menjadi tidak tunggal, ada spektrum, keragaman ada heterogenitas. Baik itu dalam pemikiran, tindakan, ataupun sikap. Prof. Haedar berada di tengah dan memiliki kekuatan dalam menghela (kelompok) sisi kiri & kanan untuk ke tengah.”
Senada dengan Prof. Ruhaini, Pdt. Izak Lattu juga menyampaikan betapa kagumnya beliau akan sosok Haedar Nashir. Menurutnya, sosok Haedar Nashir tidak hanya merangkul berbagai kelompok dalam Muhammadiyah atau lingkup agama Islam saja, melainkan turut berkolaborasi dengan elemen dari agama-agama lain. Melalui buku ini, pembaca dapat memahami bagaimana perjalanan Prof. Haedar dalam merangkul berbagai aliran pemikiran yang kemudian beliau dinamiskan kearah lebih moderat.
Disamping membahas substansi secara garis besar, para pembicara turut mendiskusikan buku tersebut dengan sudut pandang realitas. Sebagaimana disampaikan Prof. Sugeng terkait pandangannya mengenai implementasi moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari yang tentu saja masih terdapat banyak perbedaan. “Jadi yang namanya moderasi beragama, inklusif, itu perlu dibuktikan sampe ke bawah.” ujar Prof. Sugeng.
Sejalan dengan Prof. Sugeng, Dr. Najib Azca turut mengupas buku tersebut dengan menjadikan Sosiologi sebagai alat baca. “Beliau melihat bahwa problem moderasi bukan hanya problem agama kira-kira gitu. Problem moderasi adalah problem kebangsaan, dalam arti kita bisa menciptakan ekstremitas karena diskriminasi misalnya. Salah-salah bisa membangun radikalisme. Jadi moderasi adalah bagaimana kita merangkul keseluruhannya,” tutur Dr. Najib Azca.
Penulis: Farizqa A P
Editor: Andi Firmansah